Politik Era Soeharto: Stabilitas Semu dan Represi yang Terstruktur
Era Soeharto, yang dikenal sebagai Orde Baru (1966-1998), merupakan periode krusial dalam sejarah politik Indonesia. Setelah pergolakan politik dan ekonomi di masa Orde Lama di bawah kepemimpinan Soekarno, Soeharto tampil sebagai sosok yang menjanjikan stabilitas dan pembangunan ekonomi. Namun, stabilitas ini dicapai melalui sistem politik yang represif dan terpusat, dengan mengorbankan demokrasi, kebebasan sipil, dan partisipasi politik yang inklusif.
Naiknya Soeharto dan Legitimasi Kekuasaan
Kudeta militer yang gagal pada tahun 1965 menjadi titik balik yang mengantarkan Soeharto ke tampuk kekuasaan. Dengan memanfaatkan situasi kekacauan dan ketidakstabilan politik, Soeharto secara bertahap mengonsolidasikan kekuatannya. Ia menggunakan dalih untuk menumpas sisa-sisa gerakan komunis (PKI) sebagai legitimasi untuk mengambil alih kekuasaan dari Soekarno.
Soeharto membangun rezimnya di atas fondasi dwifungsi ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), yang memberikan peran ganda kepada militer dalam bidang pertahanan keamanan dan sosial politik. Dwifungsi ABRI menjadi justifikasi bagi militer untuk terlibat secara aktif dalam pemerintahan, ekonomi, dan kehidupan sosial. Hal ini memungkinkan Soeharto untuk mengontrol dan menekan potensi oposisi dari masyarakat sipil.
Struktur Kekuasaan yang Terpusat
Salah satu ciri utama politik era Soeharto adalah sentralisasi kekuasaan yang ekstrem. Soeharto memegang kendali penuh atas semua aspek pemerintahan, mulai dari pembuatan kebijakan hingga penunjukan pejabat publik. Kekuasaan legislatif (DPR) dan yudikatif (Mahkamah Agung) secara efektif berada di bawah kendali eksekutif.
Partai Golkar, yang didirikan pada tahun 1964, menjadi mesin politik utama rezim Orde Baru. Golkar berfungsi sebagai alat untuk memobilisasi dukungan rakyat dan memastikan kemenangan Soeharto dalam setiap pemilihan umum. Pemilu di era Orde Baru diadakan secara rutin, tetapi tidak memenuhi standar demokrasi yang bebas dan adil. Partai-partai politik lain, seperti PDI dan PPP, dibatasi ruang geraknya dan diawasi ketat oleh pemerintah.
Represi dan Pembungkaman Kebebasan
Stabilitas politik yang dijanjikan oleh Soeharto dicapai dengan mengorbankan kebebasan sipil dan hak asasi manusia. Pemerintah Orde Baru memberlakukan berbagai undang-undang dan peraturan yang membatasi kebebasan berekspresi, berorganisasi, dan berkumpul. Kritik terhadap pemerintah dianggap sebagai tindakan subversif dan dapat ditindak tegas.
Media massa dikontrol ketat oleh pemerintah melalui mekanisme perizinan dan sensor. Wartawan yang kritis terhadap pemerintah seringkali mengalami intimidasi, penangkapan, bahkan pembunuhan. Organisasi-organisasi masyarakat sipil yang independen juga mengalami tekanan dan pembatasan.
Rezim Orde Baru juga dikenal karena praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang merajalela. Keluarga dan kroni Soeharto memperoleh keuntungan besar dari berbagai proyek pemerintah dan bisnis swasta. KKN menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan krisis ekonomi pada tahun 1997-1998, yang akhirnya menggulingkan Soeharto dari kekuasaan.
Pembangunan Ekonomi dan Dampaknya
Meskipun diwarnai dengan represi politik, era Soeharto juga mencatat beberapa keberhasilan dalam pembangunan ekonomi. Pemerintah Orde Baru berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat Indonesia. Pembangunan infrastruktur, seperti jalan, jembatan, dan bendungan, juga digenjot secara besar-besaran.
Namun, pembangunan ekonomi di era Soeharto juga memiliki dampak negatif. Kesenjangan ekonomi antara kaya dan miskin semakin lebar. Pembangunan yang berpusat di Jawa menyebabkan ketimpangan pembangunan antar daerah. Kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam juga menjadi masalah serius.
Perlawanan dan Oposisi
Meskipun sistem politik yang represif, perlawanan terhadap rezim Orde Baru tetap ada. Kelompok-kelompok mahasiswa, aktivis pro-demokrasi, dan organisasi masyarakat sipil terus berjuang untuk memperjuangkan hak asasi manusia, kebebasan politik, dan keadilan sosial.
Peristiwa Malari (Malapetaka Lima Belas Januari) pada tahun 1974 merupakan salah satu contoh awal perlawanan terhadap rezim Orde Baru. Demonstrasi mahasiswa yang menentang dominasi modal asing dan korupsi pemerintah ditindak keras oleh aparat keamanan.
Pada tahun 1990-an, gerakan pro-demokrasi semakin menguat. Berbagai aksi demonstrasi dan unjuk rasa menuntut reformasi politik dan ekonomi. Puncak dari gerakan ini adalah pendudukan gedung DPR/MPR oleh mahasiswa pada bulan Mei 1998, yang memaksa Soeharto untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Warisan Politik Era Soeharto
Era Soeharto meninggalkan warisan politik yang kompleks dan kontradiktif. Di satu sisi, stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang dicapai pada masa Orde Baru memberikan kontribusi positif bagi kemajuan Indonesia. Di sisi lain, represi politik, pelanggaran hak asasi manusia, dan KKN yang merajalela menjadi noda hitam dalam sejarah bangsa.
Setelah jatuhnya Soeharto, Indonesia memasuki era reformasi yang ditandai dengan proses demokratisasi dan desentralisasi. Namun, warisan Orde Baru masih terasa dalam berbagai aspek kehidupan politik dan sosial di Indonesia. Upaya untuk mengatasi masa lalu yang kelam dan membangun sistem politik yang lebih demokratis dan inklusif masih terus berlanjut hingga saat ini.
Kesimpulan
Politik era Soeharto merupakan periode yang penting dan kontroversial dalam sejarah Indonesia. Stabilitas politik dan pembangunan ekonomi yang dicapai pada masa Orde Baru harus dibayar mahal dengan hilangnya kebebasan sipil, pelanggaran hak asasi manusia, dan praktik KKN yang merajalela. Warisan Orde Baru masih terasa hingga saat ini, dan menjadi tantangan bagi Indonesia untuk membangun sistem politik yang lebih demokratis, adil, dan inklusif. Pemahaman yang mendalam tentang politik era Soeharto penting untuk mencegah terulangnya kesalahan masa lalu dan membangun masa depan Indonesia yang lebih baik.